Tugas softskil Bab 8/9

                  “Perkembangan Ekonomi Daerah Dan Otonomi Daerah”
1.       Undang-undang otonomi daerah
Dari sisi sejarah perkembangan penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah telah dihadirkan berbagai Peraturan Perundangan yang mengatur penyelengaraan mengenai Pemerintahan Daerah antara lain:
1.          UU No. 1 tahun 1945. Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan Pemerintahan Pusat.
2.          UU No. 22 tahun 1948. Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat Pemerintah pusat.
3.          UU No. 1 tahun 1957. Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat Pemerintah pusat.
4.          Penetapan Presiden No.6 tahun 1959. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh Pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.
5.          UU No. 18 tahun 1965. Kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja.
6.          UU No. 5 tahun 1974. Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan Pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan.
7.          UU No. 22 tahun 1999. Pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan dengan mengedepankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

Seiring dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, kebijakan tentang Pemerintahan Daerah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Perubahan dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Otonomi daerah memberi keleluasaan kepada daerah mengurus urusan rumah tangganya sendiri secara demokratis dan bertanggung jawab dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa reformasi diberlakukannya UU no. 22 dan 29 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Dengan berbagai macam perubahan dan kebutuhan, UU tersebut akhirnya direvisi menjadi UU no. 32 dan 33 tahun 2004 Pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur segala urusan rumah tangganya masing-masing. Tuntutan bagi Pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dengan menjalankan roda Pemerintahan yang efektif dan efisien sesuai dengan kemampuan masing-masing daerah.



2.       Perubahan penerimaan daerah dan peranan pendapatan asli daerah
Memperhatikan berbagai hasil kajian para ahli menunjukkan bahwa otonomi daerah selama ini tergolong sangat kecil dilihat dari indikator kecilnya kewenangan, jumlah bidang pemerintahan, dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dimiliki daerah (Hoessein, 2000 :3). Hal ini merupakan gambaran dari praktek pemerintahan masa lalu yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Dengan berpegang pada Undang-undang tersebut, maka praktek yang terjadi di lapangan berupa sentralisasi kekuasaan yang sangat kuat, sehingga masyarakat di daerah tidak memiliki kekuasaan dan kesempatan untuk mengaktualisasikan kepentingan dan potensi daerahnya sendiri (Mardiasmo, 2000 : 574).
Pada masa sekarang ini dengan perubahan paradigma pemerintahan yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, pemerintah pusat mencoba meletakkan kembali arti penting otonomi daerah pada posisi yang sebenarnya, yaitu bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan. Kewenangan daerah tersebut mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
Kewenangan yang begitu luas tentunya akan membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi daerah untuk menjalankan kewenangannnya itu. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang menjadi kewenangannya Sejalan dengan hal tersebut, Koswara (2000 : 5) menyatakan bahwa daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.
Isyarat bahwa PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan bahwa PAD merupakan tolok ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah. Di samping itu PAD juga mencerminkan kemandirian suatu daerah. Sebagaimana Santoso (1995 : 20) mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah, yang merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran daerah, namun proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah tetap merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah.
Pendapatan Asli Daerah meskipun diharapkan dapat menjadi modal utama bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, pada saat ini kondisinya masih kurang memadai. Dalam arti bahwa proporsi yang dapat disumbangkan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) masih relatif rendah. Sebagaimana yang dialami Pemerintah Kota Yogyakarta, selama kurun waktu tahun anggaran 1991/1992 – 2000 proporsi PAD terhadap TPD rata-rata sebesar 32,96 %. Proporsi sebesar ini sebenarnya tidaklah terlalu kecil bila dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di seluruh Indonesia. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Fisipol UGM bekerjasama dengan Badan Litbang Depdagri menunjukkan bahwa selama 5 tahun (1986/1987 – 1989/1990) sebagian besar Daerah Kabupaten/Kota atau sebanyak 173 Daerah Kabupaten/Kota (59,25 % dari seluruh Indonesia) mempunyai angka prosentase PAD terhadap total penerimaan daerah di bawah 15 %.
Apabila diamati lebih jauh, maka dapat dilihat di mana sebenarnya letak kecilnya nilai PAD suatu daerah. Untuk mengetahui hal ini perlu diketahui terlebih dahulu unsur-unsur yang termasuk dalam kelompok PAD. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dinyatakan bahwa PAD terdiri dari :
1. hasil pajak daerah;
2. hasil retribusi daerah;
3. hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkannya;
4. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Menurut Widayat (1994 : 31) faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya penerimaan PAD antara lain adalah :
1. banyak sumber pendapatan di kabupaten/kota yang besar, tetapi digali oleh instansi yang lebih tinggi, misalnya pajak kendaraan bermotor (PKB), dan pajak bumi dan bangunan (PBB);
2. badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum banyak memberikan keuntungan kepada Pemerintah Daerah;
3. kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, retribusi, dan pungutan lainnya;
4. adanya kebocoran-kebocoran;
5. biaya pungut yang masih tinggi;
6. banyak Peraturan Daerah yang perlu disesuaikan dan disempurnakan;
7. kemampuan masyarakat untuk membayar pajak yang masih rendah.
Menurut Jaya (1996 : 5) beberapa hal yang dianggap menjadi penyebab utama rendahnya PAD sehingga menyebabkan tingginya ketergantungan daerah terhadap pusat, adalah sebagai berikut :
1. kurang berperannya Perusahaan Daerah sebagai sumber pendapatan daerah;
2. tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, karena semua jenis pajak utama yang paling produktif baik pajak langsung maupun tidak langsung ditarik oleh pusat;
3. kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan;
4. alasan politis di mana banyak orang khawatir apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme;
5. kelemahan dalam pemberian subsidi Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang hanya memberikan kewenangan yang lebih kecil kepada Pemerintah Daerah merencanakan pembangunan di daerahnya.
Secara umum dari kedua pendapat di atas diketahui bahwa masalah rendahnya PAD disebabkan lebih banyak pada unsur perpajakan. Lebih jauh mengenai perpajakan dan permasalahannya perlu dikemukakan pendapat Reksohadiprodjo (1996 : 74-78), yaitu bahwa beberapa masalah yang sering dihadapi sistem pajak di daerah secara keseluruhan, di antaranya adalah adanya kemampuan menghimpun dana yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, yang disebabkan karena perbedaan dalam resources endowment, tingkat pembangunan, dan derajat urbanisasi. Masalah lainnya adalah terlalu banyaknya jenis pajak daerah dan sering tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Tidak ada perbedaan yang jelas antara pajak dengan pungutan lainnya, dan masalah biaya administrasi pajak yang tinggi.
Pada akhirnya keberhasilan otonomi daerah tidak hanya ditentukan oleh besarnya PAD atau keuangan yang dimiliki oleh daerah tetapi ada beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilannya. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Kaho (1997 : 34-36) bahwa keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. faktor manusia;
2. faktor keuangan;
3. faktor peralatan;
4. faktor organisasi dan manajemen.
Salah satu ukuran kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi adalah dengan melihat besarnya nilai PAD yang dapat dicapai oleh daerah tersebut. Dengan PAD yang relatif kecil akan sulit bagi daerah tersebut untuk melaksanakan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara mandiri, tanpa didukung oleh pihak lain (dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Propinsi). Padahal dalam pelaksanaan otonomi ini, daerah dituntut untuk mampu membiayai dirinya sendiri.

3.       Pembangunan Ekonomi Regional

    Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto suatu provinsi, kabupaten, atau kota. 
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Lincolin Arsyad, 1999).
Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Todaro, 2000).
Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk mencipatakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi.
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses, yaitu proses yang mencakup pembentukan institusi - institusi baru, pembangunan indistri - industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru.
Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah berserta pertisipasi masyarakatnya dan dengan menggunakan sumber daya-sumber daya yang ada harus mampu menaksir potensi sumber daya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah.
Pembangunan ekonomi nasional sejak PELITA I memang telah memberi hasil positif bila dilihat pada tingkat makro. Tingkat pendapatan riil masyarakat rata-rata per kapita mengalami peningkatan dari hanya sekitar US$50 pada pertengahan dekade 1960-an menjadi lebih dari US$1.000 pada pertengahan dekade 1990-an. Namun dilihat pada tingkat meso dan mikro, pembangunan selama masa pemerintahan orde baru telah menciptakan suatu kesenjangan yang besar, baik dalam bentuk personal income, distribution,  maupun dalam bentuk kesenjangan ekonomi atau pendapatan antar daerah atau provinsi.



4.       Faktor-faktor penyebab ketimpangan
Dalam struktur ekonomi yang sehat, beban inflasi hampir merata menimpa seluruh penduduk, meskipun secara teoritis penanggung terberat inflasi adalah mereka yang berpendapatan tetap dan kaum penganggur (yang tidak memiliki pendapatan).
Namun, akibat karakter inflasi di Indonesia seperti yang dideskripsikan di atas sangat mungkin inflasi sekaligus menjadi sumber penyebab ketimpangan pendapatan yang lebih besar. Singkatnya, sumber penyumbang inflasi terbesar adalah komoditas pangan dan bahan makanan, padahal, sekitar 70-80% pendapatan orang miskin digunakan untuk mengonsumsi pangan. Jadi, pendapatan mereka benar-benar tergerus oleh karakter inflasi yang tidak ramah ini.
Berikutnya, penikmat inflasi adalah kaum saudagar pangan (produsen kakap, distributor, importir, dan lain-lain) yang memetik laba dari kenaikan harga komoditas tersebut. Petani (gurem) tidak menerima keuntungan karena nasib mereka yang telah diatur oleh pelaku di hilir itu.
Oleh karena itu, jika tidak ditangani dengan saksama, inflasi kali ini juga akan memperburuk tingkat kemerataan pendapatan, yang dalam beberapa tahun terakhir ini memang telah kian menganga.
Namun, yang mengherankan, dalam situasi seperti ini pemerintah (Departemen Pertanian) akan memilih kebijakan ekspor beras karena sekarang sedang panen raya (kelebihan produksi) dan insentif harga internasional yang sedang bagus (tinggi). Kebijakan ini, sekali lagi, sulit dinalar karena kelebihan produksi ini sifatnya hanya tentatif.

5.       Pembangunan Indonesia bagian timur
Pembangunan di Indonesia Bagian Timur lebih tertinggal dibandingkan daerah Indonesia bagian lain. Mungkin penyebabnya tanah yang lebih tidak subur dan masalah transportasi. Daerah yang agak tandus, jalannya lebih cepat rusak, entah karena keadaan tanahnya atau karena suhu udaranya yang lebih panas. Sehingga perjalanan memerlukan waktu tempuh yang lebih lama dan medan yang berat. Dekat waduk/bendungan. Daerah yang sulit dijangkau karena jalannya rusak atau jauh, lebih mudah terjangkau dengan adanya transportasi air.
Keuntungannya:
·         Proyek yang menarik dan mudah dijual karena akan mendapatkan hasil langsung berupa pohon/hasil hutan sepanjang yang akan dibuat jalan. Akan mendapatkan bahan galian yang bisa berupa bahan tambang yang bernilai tinggi (bisanya daerah tandus kaya akan bahan tambang bernilai tinggi dan batuan mulia/permata)dan atau bahan mineral.
·         Peluang bisnis transportasi manusia dan barang (kalau tidak salah transportasi via air termasuk transportasi yang paling murah untuk angkutan barang).
·         Bendungan bisa juga dibuat pembangkit listrik tenaga air.
·         Bisa menjadi Objek wisata
·         Di bendungan bisa dibuat budi daya ikan jaring terapung, sedangkan di jalan air bisa di buat budi daya ikan di keramba.
·         Untuk saluran irigasi.
·         Meningkatkan kesuburan tanah(biasanya daerah dekat aliran air, tanahnya menjadi lebih subur).
·         Bisa juga dirancang untuk mengatasi banjir.
·         Bisa juga dirancang untuk mengatasi kebakaran hutan (minimal melokalisasi kebakaran hutan yang terpotong jalan air).
·         Transportasi manusia dan barang lebih mudah, murah dan lancar otomatis meningkatkan aktivitas ekonomi di daerah itu dan antar pulau.
·         Akan berkembang aktivitas-aktivitas ekonomi penunjang lainnya yang meningkatkan penghasilan dan menyerap lapangan pekerjaan.
·         Mempermudah aparat keamanan untuk menjaga daerah-daerah yang sulit dijangkau lewat darat.

Hal-hal yang harus diperhatikan:
·         Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas jalan air
·         Debit banjir bila air meluap
·         Pemeliharaan jalan air
·         Masalah keselamatan pengguna jalan air.

6.       Teori dan anlisis pembangunan ekonomi daerah

      Pembangunan Ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya – sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sector swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999 : 298).
Oleh karena itu, bila prioritas pembangunan daerah kurang sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing – masing daerah, maka sumber daya yang ada kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Keadaan tersebut mengakibatkan relatif lambatnya proses pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi dikatakan berjalan jika ditandai dengan adanya pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan Ekonomi Daerah Kuznets (1999) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang – barang ekonomi kepada penduduknya, kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan tekhnologi, penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya.
      Dengan berdasarkan pada kenyataan bahwa pada suatu daerah terbagi kedalam wilayah – wilayah dan sub – sub wilayah, maka pertumbuhan daerah akan ditentukan oleh faktor – faktor utama yang antara lain :

a. Sumber daya alam yang tersedia
b. Tersedianya modal bagi pengelolaan sumber daya alam
c. Adanya prasarana dan sarana (infrastruktur) yang menunjang, seperti transportasi,
    komunikasi dan lain – lain.
d. Tersedianya tekhnologi yang tepat untuk pengelolaan sumber daya alam.
e. Tersedianya kualitas sumber daya manusia untuk pengelolaan tekhnologi.
Menurut Anwar (1996 : 17) teori yang menjelaskan tentang pertumbuhan suatu daerah dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :
a. Inward – Looking Theories
    Teori ini menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada suatu daerah
    diakibatkan oleh factor – factor ekonomi yang ada di daerah itu sendiri.
b. Output Oriented Theories
     Teori ini menganggap bahwa adanya mekanisme yang mendasari fenomena
     pertumbuhan daerah dari satu daerah kedaerah lainnya.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAB III ETHICAL GOVERNANCE

Soal-soal Etika Profesi Akuntansi

Etika Profesi Akuntansi (Etika Dalam Kantor Akuntan Publik)